Part 1
Terlambat – Haruskah kurasakan kembali?
Ketika raung wajah sendu bergema dalam angan, rasanya enggan untuk mencampakannya. Hal yang tak pernah ku minati bahkan ku lesui kini menyambangiku. Entah dari mana permulaannya dan apa maksud tujuan kerangan menyambangi saya. Ini kisahku…
“Ku pikir, waktu tak akan menolak begitu saja, rasa yang sudah ku sambangi adanya”
Aku, Reysha bermakna lamban namun bersahaja. Biasa di panggil Rey ternyata oleh kawan lama baru bahkan siapapun mereka. Aku tak pernah menginginkan rasa ini tumbuh, namun rasa ini hadir dengan sendirinya. Dalam rindu ku denganya, dalam basuhan rasa kecewaa ditambah potekan-potekan rasa yang mungkin masih mampu ku ku susun dengan kenangan. Namun aku beranjak ingin pergi, menyambangi dunia fana yang dulu pernah kejauhi, angan bisa terpaut, rasa bisa memusnahkan namun aku hanya mampu untuk sunyi senyap tak bergema. Dalam mimpiku, bayangan itu masih saja hadir, seketika lambat laun namun pasti bayangannya yang biasa ku sambangi justru memuncak hingga akhirnya muak kurasa. Tak ingin rasanya sudut mata ini melihat sosoknya lagi. Butiran semu bayangmu selalu membuatku kembali terpuruk dan sulit untuk bangkit.
Hey untuk kau disana, terima kasih atas nikmat benci yang terasa, terima kasih untuk potekan rasa yang ingin ku buang dan ku jauhi.Terperosok aku dalam kenyataan pait setelah hati ini menambatka hati padamu.-Via-
Waktu cepat berangssur, nada cepat bergulir, air lesung megalir deras. Hal yang tak seharusnya menjadi harus, hal yang tak menjadi akhirnya menjadi jadi. Mungkin ini waktunya ketika seorang sosok hawa yang mungkin berniat untuk singgah di pertigaan hati. Namun akibat aku belum bisa menebus hutang luka pada hati ini dan membayar hutang itu, aku begitu biasa menanggapinya.
“Mungkin aku pernah terjatuh waktu lalu, namun kini aku coba untuk hidup lagi”
Kala Stevany mampir sejenak dalam pikiran ini, aku hanya menganggap kau yang merasa kasihan padaku, aku tak pernah memiliki rasa ingin menambatka hati mu hanya karena berceloteh di media social bbm. Aku tak tahu seperti apa wujudmu, seperti apa relungmu bahkan deritamu. Sungguh tak tahu dan mungkin tak peduli,aku apalagi waktuku.
“Sembari aku bersemayam, mengapa mimpi selalu melukiskan bayangmu yang akan memerdekakan hati”
Bisa atau tidak, kalau memang dia pasti tak akan kemana. Sering bunyi smartphone yang kumiliki berdering menandakan sebuah pesan datang darimu untukku, namun tiba-tiba kau menghilang-vany, entah kemana datang dan perginya belum sempat ku raih.
Namun mengapa, ketika kau tak pernah hadir lagi, rasanya sempat hilang hanya merasa ada yang kurang. Tapi entah mengapa? Semoga hal itu tak lagi terpikir karena bagiku, ini terlalu cepat dalam rasa trauma yang mendalam akibat yang dia pernah lakukan pada permadani ini, rusak. Kadang aku berharap dapat bertemu dengannya lagi, namun aku hanya masih merasakan luka yang entah kapan akan sembuh. Suatu cara yang kulakukan untuk mengobati luka ini adalah mungkin dengan mengembalikannya menjadi sesuatu yang utuh, bukan potekan lagi. Selama ini, yang ku lakukan hanya melakukan yang ku inginkan tanpa ku sadari, apakah benar atau salah.
“Malamku menjadi siang, siangku menjadi malam.Hanya aku waktu dan kesenanganku”
Tak peduli berapa persen yang ku minum, tak peduli memperhatikan bar mana yang pernah kusinggahi, tak peduli jam berapa malam yang aku khianat. Aku hanya merasakan rasa yang bercampur asa, yang ku campur dengan keunafikan. Hal yang membuatku seolah bertahan adalah because my mom and dad. Mereka justru lebih merasaka kecewa ketimbang aku, lebih merasa terpuruk dan terpukul melihat aku saat ini.
“Hujan baru saja perg dan berselimut pelangi dan mentari pun kembali menerangi”
Aku bukan seolah tak bisa bangkit, mungkin kata belum cocok dengan rangkaian kata yang rumpang. Seolah aku bisa bangkit ketika ku harap ada sosok yang mau berkorban untukku. Tapi entah aku tak mau mencarinya, hanya berharap ada yang sudi untuk singgah. Tak berharap seperti apa bentuknya, inginnya, hanya yang mau saja mugkin beserta rupanya yang nyaman untuk ku lihat.
Dalam gelap mata, kusibukan diri ini sesibuk mungkin untuk menyudahi kenegatifan sesaatku kala itu, tapi ku positifkan segalanya, hingga aku tenggelam dalam kesibukan ku kini. Berupaya untuk merasa tidak diam apalagi sendiri, mungkin itu yang masih mampu kulakukan. Andai, aku mampu untuk melihat sosok vany, tapi entah perlahan dia seperti menjauh.
“Waktu tak pernah sudi untuk mempertemukan kita”
Aku selalu mengharapkan kehadiranmu dalam sudut mata ini, namun lagi-lagi kau tetap tak terlihat dan tak menampakan wujudmu. Selalu sengaja aku menyambangi saudaramu, namun kau lagi-lagi tak pernah terlihat. Katanya kala kau datang aku tak disana, namun ketika kau pergi, aku justru malah datang. Mungkin waktu yang enggan berpihak dalam pertemuan kita vany, tapi sejujurnya aku ingin melihat rupawanmu, ingin melihat sudut matamu, biasmu dan segalanya tetangmu,, tapi entah kapan namun semoga.
Malam itu, hujan membasahi bumi, namun ada sesuatu yang harus ku jalani namun enggan rasanya untuk menyambanginya, rasa malas yang teak tertahan untuk pergi seolah menjadi suatu isyarat untukku pergi meninggalkan tempat yang nyaman ini-kamarku. Tapi itu harus ku lakukan, malam yang dingin mengawali perjalanan di malam itu. Gesekan badan jala yang seperti melengkapi kronologi perjalanan malam itu bersimbah beberapa tetes darah dengan percikan api yang tergesek efek dua benda yang saling bergesekan. Suara keras yang masih bisa ku dengar melengkapi pikiran dan anganku, “apa aku masih diijinkan untuk bertemu seseorang untuk megobati luka ini, atau aku harus pergi bersama luka?”. Pekik telinga ini mendenganya, suram bayangan ini dibuatnya, dan dusta mulut ini berkata.Dan seketika ku buka mata ini, ternyata aku masih hidup dan darah saja yang menyelimuti seperempat tubuhku.
Aku tak pernah ingin bahkan sudi untuk merasakan sakit yang berlebih, sudah sakit hati yang terasa ditambah sakit badan ini yang ku rasa, mungkin ini sudah jalanku yasudah mau dikata apa. Pelan aku pergi mencari pertolongan tibalah aku di rumah sobatku, diobatinya seperempat bagian tubuhku, dibasuhnya simbah darah yang menyelimuti tubuhku. Alhasil semua terasa lebih baik, ingin rasanya ku istirahatkan tubuh ini dengan segera, namun aku harus kembali ke kediaman ku.
“Dan perjumpaan pertama yang tak ku inginkan”
Ketika aku sampai di rumah, dalam persinggahanku di tengah malam, ku dapati sudut mata yang sepertinya ku kenal, tapi entah siapa sedang menunggu kehadiranku dengannya. Bisikan hati berkata dan bertanya “inikan vany-stevany yang selama ini hanya ada dalam dunia social?” Aku lebih meyakini, ketika ku lihat sorot mata yang bersedih mencemaskan tubuh ini, ditopangnya aku dibuatnya seolah begitu lemahnya aku di hadapanya. Pelan tapi pasti sampai lah di tempat tidur yang sejak tadi ku rindukan. Perkenalan dan pertemuan yang entah tak kuharapkan adanya karena keadaanku saat itu begitu menyedihkan dan penuh penderitaan mungkin. Aku tak lagi memikirkan rupanya, hanya kekhawatiranya yang terlihat dari sudut mata dan sikapnya. Sungguh betapa patut dikasihaninya aku..
Bicara soal kasihan mengkasihani, begitu hangat yang terasa dia membuatkan aku makan malam dengan kelucuannya, mencamurkan begitu banyak air dalam semangkuk mie instan yang perlahan di haampirinya ke mulutku. Sungguh hal itu tak akan pernah terlupakan, begitu konyolnya dan dia menyalahi aku karena aku member airnya terlalu banyak karena dia tak memperhatikannya, mungkin dia terpedaya olehku bisa jadi,,
Malam yang panjang, dijaganya aku disebelah tempat tidur yang terjaga sepanjangan malam. Dia bacakan aku sebuah cerita, kita bermain dalam sebuah games smarttablet masa kini. Namun ternyata, aku tak sadar kan diri dengan berseluncur di dunia mimpiku yang sungguh nyaman. Malam bergeming, jam menunjukan pukul 02.30 di jam digital yang kuletakkan di sebelah meja dekat tempat tidurku. Kulihat dia sedang beristirahat dengan tenangnya, terjaga dalam malam ku, kau menjagaku, sempat benak ini berkata adakah yang seperti ini nantinya. Rasanya kasihan melihat dia harus tertidur di kursi sambil menjaga malamku, namun tubuh ini tak mampu untuk bertindak terlalu lemas. Dan pada akhirnya aku kembali terlelap, di pagi harinya dia sudah siap segar degan raut wajah yang terlihat bingung,namun yang pasti aku masuk kedalam daftar kebingungannya tapi entah apa alasan yang mendasarnya.
Tak banyak kata yang terlontar dipagi itu, hanya saja dia bersiap untuk pulang, namun aku berharap dia tak akan lama pergi dan mampu kembali. Dan ternyata setelah dia pula, dia akan kembali menemaniku lagi. Ketika dia tak ada alias pulang rasa sedikit kehilangan pun muncul, aura yang dia miliki mampu menyinari langit yang suram siang itu.
Hal yang tak mampu ku tepiskan adalah ketulusan ketika malam yang terjaga mampu menepiskan keadaan yang terjadi malam itu, kegelisahan yang tampak tak menyuratkan waktu untuk kembali. Itu adalah kala pertama dan kala terakhir aku merasakan kehangatan dari sosoknya yang setelah hari ini selesai rupanya dia tak disini lagi.
“Asal kan aku berpihak kepadamu, akan ku lontarkan rasa ini”
Lama tak jumpa, rindu menusuk, suara tak terdengar alihkan pikiranku dengan yang lain, kutayakan keberadaannya dengan sosok lai disekeliignya, yang ku dengar justru menyimbak hati. Rupanya yang kudengar biasan sesuatu yang tak kuingini,rindu tapi mencolok entah sakit entah lain dari ini. Aku hanya bisa senyum sambil menpiskan angan dan rasa. Kau telah dimiliki dan itu buka aku. Kali pertama berjumpa dan kali terakhir rindu yang menusuk rasa yang sirna. Begitu juga dengan keadaan.
“Beraktingkah aku dengan keadaan ini”
Supaya kau bahagia, kurelakan hal manis yang kau jalani bukan denganku,, rindu tak tepis keadaan, sira oleh waktu dan kembali merasakan kepedihan ini. Satu hal yang mendasar aku tak akan berusaha mencarimu bahkan merebut kebahagiaan yang kau punya Disisi malam aku bertemu kembali denganmu, dengan hal yang akan ku jalani tanpamu dan kembali merasakan pedih dan luka, namun bukan akibat kau, tapi akibat aku yang terlalu diam dan tak menyukuri keadaan yang kumiliki saat ini. Untukku dan Untukmu- Stevany